Minggu, 07 Maret 2010

Menjadi Penulis Itu Kutukan!

Dengar Kawan; Menjadi penulis itu kutukan!

Nanti boleh kau perdebatkan ucapanku. Tapi sekarang simaklah dahulu penjelasanku. Berjuta-juta manusia di negeri kaya ini yang penduduknya sudah terlepas dari penyakit buta aksara. Tapi berapa banyak yang punya kebiasaan menuliskan gagasan, perasaan, bahkan sekedar sampah yang menumpuk di kepala dan menyesaki rongga dada? Adakah sepuluh persen di antaranya? Entahlah. Tak pernah ada sebuah sensus untuk menjelaskannya dalam sebuah deretan angka. Dan - seandainya bertaruh itu diperbolehkan - saya berani bertaruh bahwa mereka yang secara yakin menancapkan cita-cita menjadi seorang penulis itu jauh lebih sedikit. Tetapi karena bertaruh itu mendekati judi, maka saya batalkan untuk melakukan sebuah pertaruhan. Lagipula saya yakin anda setuju dengan apa yang saya sampaikan.

Mari kita mulai dengan kenyataan bahwa tidak semua orang “dijangkiti” keinginan untuk menulis. Di sisi ini mungkin bisa kita katakan bahwa menjadi penulis (dengan “p” kecil) adalah sebuah anugerah. Tapi antara anugerah dengan kutukan setipis kulit bawang. Seperti anugerah sekaligus kutukan yang menimpa Peter Parker ketika laba-laba yang mengandung radio aktif menyengat tangannya dan kemudian mendatangkan sebuah kekuatan super. Kekuatan yang memaksanya mengenakan topeng Spiderman seumur hidupnya demi melindungi orang-orang yang dicintainya. Kekuatan yang membuat ia tak pernah sanggup bahkan untuk sekedar mengatakan cintanya pada Mary Jane Watson. Sebab ia sangat memahami konsekuensi dari kekuatan yang sekarang melekat pada dirinya itu; with the great power, comes great responsibility … (Bersama kekuatan yang besar, ada tanggung jawab yang besar!)

Maka menjadi penulis adalah sebuah kutukan. Seumur hidup seorang penulis akan selalu merasa gelisah karena kenyataan di sekelilingnya memang tidak pernah menyodorkan gambaran ideal kehidupan manusia. Bagi orang lain semua kegelisahan tersebut bisa dibagi-bagi. Tapi tidak bagi seorang penulis. Saat bekerja, seorang penulis benar-benar sendiri karena tidak ada proses kreatif yang berlangsung massif sekalipun ia terlibat dalam sebuah komunitas penulis. Semua dikerjakan sendiri. Sempurnalah sepinya dunia penulis.

Ada kekuatan besar dalam sebuah tulisan. Kekuatan untuk setidaknya mempengaruhi orang lain. Itulah sebabnya pemerintah zionis Israel menangkap dan memenjarakan semua penyair Palestina. Karena bagi mereka, satu penyair Palestina jauh lebih berbahaya dari 10 prajurit komando terlatih. Jika sebuah tulisan tidak berarti apa-apa, pemerintah kolonial Belanda tidak akan dibuat resah dengan sebuah tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Jika Aku Seorang Belanda) yang ditulis oleh RM. Soewardi Soeryanigrat atau Ki Hajar Dewantara. Bahkan konon sebuah novel berjudul Uncle Tom’s Cabeen yang ditulis oleh Harriet Bacher Stowe menjadi salah satu pengobar semangat anti perbudakan yang memicu pecahnya Perang Sipil di Amerika Serikat pada era 1890-an itu. Seperti kata John F. Kennedy; Jika politik itu kotor, sastra membersihkannya …

Beruntunglah mereka yang menyadari kekuatan itu. Sekarang tinggal bagaimana kita mengelola kekuatan tersebut dengan sebaik-baiknya. Sebab kekuatan tersebut tidak hanya kita pertanggungjawabkan di sini, dihadapan masyarakat pembaca, tetapi juga kelak setelah kita meninggalkan dunia. Jika kita hanya menghamburkan sampah, hanya bau busuk yang akan kita terima. Tetapi jika cahaya yang kita bawa izinkan saya mengingatkan sebuah kabar gembira. Sebuah riwayat menyebutkan ada 3 jenis manusia yang dijanjikan pertolongan dari Allah SWT; 1. Para mujahid yang berjuang dengan penuh keikhlasan, 2. Penulis yang mencerahkan / menjadi penawar, dan 3. Seorang pemuda yang menikah untuk menjaga kehormatan.

Maka jika “kutukan” itu menghampirimu, berbahagialah kawan. Karena tidak banyak manusia di dunia ini yang siap menampung kegelisahan semesta dan menyuarakannya.


(Tertarik menulis dan menghasilkan income dari menulis? Coba yang ini ...!)